Jumat, 03 Maret 2017

5 Fakta Tragis Tragedi Bintaro, dari Nasib Masinis hingga'Kuburan' Lokomotif Maut

5 Fakta Tragis Tragedi Bintaro, dari Nasib Masinis hingga'Kuburan' Lokomotif Maut

iklan 336x280 iklan link responsive
iklan 336x280 iklan link responsive

Baca Juga


Dua puluh sembilan tahun berlalu, namun sebuah tragedi kecelakaan kereta api masih jelas dalam ingatan.

Bagaimana suara tabrakan itu, jejeritan bersahutan, serta darah yang berceceran di mana-mana.

Ya, 29 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 19 Oktober 1987, sebuah peristiwa kecelakaan tragis yang melibatkan dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, terjadi.

Kelak di kemudian hari, orang mengenalnya dengan Tragedi Bintaro jilid I.

Sebab, 26 tahun kemudian, kecelakaan kereta api kembali terjadi di lokasi yang hampir berdekatan dengan Tragedi Bintaro I.

Inilah satu di antara musibah paling buruk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia, sekaligus menyita perhatian dunia.

Dirangkum dari wikipedia.org, peristiwa bermula dari kesalahan Kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota ke Stasiun Sudimara.

Padahal saat itu, jalur KA di Stasiun Sudimara yang hanya punya tiga jalur, dua antaranya sudah diisi kereta lain, yaitu KA Indocement yang akan berangkat ke Jakarta dan gerbong tanpa lokomotif.

KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota sampai di Stasiun Sudimara pukul 06.45 WIB dan sedianya akan bersilang dengan KA 220 Cepat Jurusan Tanah Abang-Merak di Stasiun Kebayoran.

Artinya, KA 220 harus mengalah dan menunggu di Stasiun Kebayoran.

Namun Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Kebayoran tidak mau mengalah dan tetap memberangkatkan KA 220.

Di saat yang bersamaan, KA 225 juga berangkat dari Stasiun Sudimara lantaran salah tafsir.

Rencananya, KA 225 akan dilangsir di jalur 3 dan masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan lantaran penuhnya lokomotif.

Masinis malah bertanya pada penumpang di lokomotif, "Berangkat?" maka penumpang pun menjawab, "Berangkat!"

Dan tak lama kecelakaan tragis itu terjadi di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah utara Sekolah Menengah Umum Negeri 86 Bintaro.

Di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan "S", berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan kurang lebih 8 km sebelum Stasiun Sudimara.

Kedua kereta sarat penumpang itu hancur, terguling, dan ringsek.

Kedua lokomotif dengan seri BB303 16 dan BB306 16 rusak berat.

Jumlah korban jiwa 156 orang dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.

Setelah diselidiki, kecelakaan terjadi karena faktor manusia.

Dan, inilah fakta-fakta terkait kecelakaan tragis tersebut seperti dirangkum TribunTravel.com dari berbagai sumber:

1. Sempat Kejar Kereta



KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Kecelakaan kereta api di Bintaro, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 19 Oktober 1987.

Saat KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota berangkat dari Stasiun Sudimara, padahal semestinya dilangsir di jalur 3, semua petugas di stasiun itu kaget.

Beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor.

PPKA Sudimara, Djamhari, mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil.

Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah.

Namun sia-sia, Djamhari pun kembali ke stasiun dengan sedih, ia membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung.

Namun kereta tetap melaju.

Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.

2. Sanksi Atas Kelalaian Pihak Terkait

Akibat kecelakaan tersebut, sang masinis KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota, Slamet Suradio, diganjar 5 tahun kurungan.

Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225.

Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan.

Sementara Umrihadi, PPKA Stasiun Kebayoran Lama dipenjara selama 10 bulan.

3. Nasib Masinis KA



Tribun Jogja, Rento Ari Nugroho
Slamet Mantan Masinis Tragedi Bintaro 1987 menunjukkan Kartu Keanggotaannya sebagai masinis ketika ditemui, Selasa (10/12/2013).

Dalam tragedi tersebut Slamet Suradio (77) dipersalahkan karena dianggap melanggar aturan dengan memberangkatkan kereta tanpa izin PPKA.

"Saya ingat jelas pagi itu kereta saya diberangkatkan. Saya melihat PPKA memberi tanda, asisten masinis telah naik ke kabin, dan kondektur pun telah masuk ke kereta," kata Slamet seperti dilansir dari Tribun Jogja.

Karena itu, ia kesal ketika tahu hanya dirinya saja yang dipecat dengan tidak hormat dan tidak mendapatkan uang pensiun, sedangkan orang yang menurutnya paling bertanggung jawab tetap mendapat uang pensiun.

Slamet mengungkapkan, banyak keganjilan dalam kasusnya.

Misalnya saja, ia menandatangani Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dalam ancaman.

"Waktu itu saya ditodong pistol, disuruh ngaku. Saya heran, saya nggak salah kok diperlakukan seperti itu," ucapnya pelan.

Merasa ibu kota terlalu kejam baginya, Slamet kembali ke kampung halamannya di Purworejo, Jawa Tengah.

Berdasar penuturan netizen Rudi Hendartono di kolom komentar TribunTravel.com, Slamet masih hidup dan kini berjualan rokok dalam gerobag kaca kecil untuk memajang dagangannya di selatan Terminal Kutoarjo, Purworejo.

4. Dijadikan Lagu dan Film



Fakta Unik dan Menarik

Tragedi Bintaro benar-benar membetot perhatian banyak orang.

Untuk mengenangnya, musisi Iwan Fals menulis lagu berjudul 19/10 atau 1910 (diucapkan: sembilan belas-sepuluh, berarti 19 Oktober) dan Ebiet G Ade membuat Masih Ada Waktu dari peristiwa kecelakaan ini.

Dua tahun kemudian, tepatnya 1989, peristiwa ini diangkat menjadi sebuah film yang berjudul Tragedi Bintaro dan disutradarai oleh Buce Malawau.

Film berjudul Tragedi Bintaro dibintangi antara lain oleh Roldiah Matulessy, Ferry Octora, dan Lia Chaidir yang diangkat dari kisah nyata seorang korban kecelakaan, Juned.

Di akhir film, muncullah Juned yang sebenarnya di rel kereta api dengan memakai penyangga kaki, karena kaki yang kiri harus diamputasi.

Juned adalah seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro.

“Sayalah Juned, seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro, saya berterima kasih karena kisah kami sekeluarga diangkat kelayar putih lewat film ini, moga-moga ada hikmahnya bagi kita semua” demikian kata-kata Juned yang asli di akhir kisah.

5. Bangkai Lokomotif 'Dikuburkan'



TRIBUNJOGJA
Balai Yasa, Yogyakarta.

Balai Yasa Yogyakarta menjadi tempat penyimpanan lokomotif tua dari semua daerah di Pulau Jawa.

Dari puluhan lokomotif yang 'dikuburkan' di Balai Yasa, ada dua lokomotif yang sempat saling bertabrakan saat Tragedi Bintaro.

Eko Purwanto, EVP Balai Yasa Yogyakarta membenarkan bila lokomotif maut itu masih ada di sana.

Dari isu yang beredar, banyak pegawai Balai Yasa yang enggan mendekatinya karena menyimpan aura mistis.

Purwanto pun tak menampik soal adanya cerita mistis yang beredar.

Namun, selama ia bertugas di sana, hal-hal mistis itu tak mengganggu kerjanya.

"BB304 nomor seri lupa. Cerita mistis ada, bahkan tidak cuma soal itu (lokomotif yang terlibat kecelakaan di Bintaro). Tapi enggak masalah, pekerjaan tetap lancar," kata dia.


Sumber : travel.tribunnews
iklan 336x280 iklan link responsive (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Related Posts

5 Fakta Tragis Tragedi Bintaro, dari Nasib Masinis hingga'Kuburan' Lokomotif Maut
4/ 5
Oleh